Belajar dari Alam: Rehabilitasi Mangrove di Lantebung

Penulis : Nirwan Dessibali

Direktur Eksekutif YKL Indonesia

Di sudut utara Kota Makassar, tepatnya di kawasan Lantebung, terukir kisah inspiratif tentang tekad, kerja keras, dan pembelajaran dari alam.

Sejak Juni 2023, Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia, dengan dukungan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), memulai perjalanan bersama masyarakat setempat untuk merehabilitasi mangrove yang rusak.

Upaya ini bukan sekadar menanam pohon, tetapi juga memahami ekosistem kompleks dan belajar dari keberhasilan serta kegagalan di masa lalu.

Refleksi dan Pembelajaran

Semua bermula dari refleksi mendalam. Selama sepuluh tahun terakhir, masyarakat Lantebung telah berusaha menghidupkan kembali hutan mangrove yang rusak.

“Memang kalau kita lihat sekarang Mangrove Lantebung sudah lebat dan bermanfaat. Sudah tidak ada banjir rob, angin kencang tidak membuat atap rumah kami hilang, dan ada tambahan pemasukan dari wisata,” ujar Bakhtiar, salah satu warga Lantebung, saat berdiskusi di salah satu pondok di tengah-tengah mangrove yang telah lebat.

Namun, hasilnya tidak selalu sesuai harapan. Banyak bibit mangrove yang hilang disapu ombak, tergenang air, atau terhalang oleh sampah.

“Hasil yang dilihat sekarang ini sebenarnya tidak sebanding dengan kegiatan penanaman yang dilakukan. Kami perkirakan lebih banyak bibit yang mati daripada yang tumbuh,” tambah Bakhtiar.

Dari pengalaman inilah masyarakat bersama tim YKL Indonesia mulai menyusun rencana. “Kami belajar dari pengalaman mereka,” ujar Nuryamin, Koordinator Program ini.

Melalui pengamatan langsung dan diskusi bersama, mereka mengidentifikasi masalah utama, seperti ketinggian substrat yang tidak sesuai, lokasi penanaman yang terlalu jauh dari mangrove alami, serta gangguan seperti sampah dan teritip. Dari pembelajaran ini, mereka menyusun desain rehabilitasi yang lebih matang, berbasis data dan pengalaman.

Inovasi untuk Alam

Untuk mengatasi tantangan, tim memulai langkah inovatif. Mereka membangun Alat Pemecah Ombak (APO) dari bambu, yang tidak hanya menahan ombak tetapi juga menjadi perangkap sedimen. Sedimen ini membantu menaikkan ketinggian substrat hingga sesuai dengan habitat alami mangrove. Selain itu, guludan dan waring digunakan sebagai pelindung bibit sekaligus perangkap bibit alami.

Setelah persiapan matang, tim menanam 10.000 bibit mangrove dari berbagai jenis, seperti Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, dan Avicennia officinalis. Mereka juga menebar bibit mangrove secara alami untuk memperkaya ekosistem.

Metode penanaman pun bervariasi, mulai dari pola tanam murni, rumpun berjarak, hingga pola acak. “Kami mengadaptasi metode Ecological Mangrove Rehabilitation (EMR),” jelas Nuryamin. “Kami memperbaiki kondisi ekologi dan hidrologi agar mangrove bisa tumbuh secara alami.”

Pertumbuhan yang Menggembirakan

Hasil monitoring dari Juli 2023 hingga Januari 2024 menunjukkan angka pertumbuhan yang menggembirakan. Bibit mangrove yang ditanam memiliki tingkat kelangsungan hidup hingga 93%. Bahkan, 374 bibit mangrove alami jenis Avicennia sp. ditemukan tumbuh di lokasi rehabilitasi.

“Bibit tumbuh antara 30% hingga 100% dari tinggi awal, dengan rata-rata daun mencapai 18,35 lembar,” kata Andi Muhammad Subhan, staf lapangan YKL Indonesia.

Namun, perjalanan ini tidak sepenuhnya mulus. Gelombang besar pada Desember hingga Januari sempat merusak beberapa bangunan APO dan menghanyutkan bibit yang ditanam di luar perlindungan tersebut. “Kami menyadari bahwa penanaman pada bulan September hingga Januari di pesisir utara Makassar sangat berisiko,” ujar Busrah, community organizer yang rutin melakukan monitoring.

Laboratorium Alam

Kini, kawasan rehabilitasi mangrove di Lantebung telah menjadi laboratorium alam. Lokasi ini digunakan sebagai tempat belajar bagi masyarakat dan pihak-pihak lain yang ingin merehabilitasi mangrove di wilayah mereka. “Kami berharap apa yang dilakukan di Lantebung bisa menjadi referensi, baik untuk wilayah ini maupun daerah lain dengan karakteristik yang sama,” kata Busrah.

Kisah ini adalah bukti bahwa dengan kerja sama, inovasi, dan kesabaran, manusia dapat belajar dari alam untuk memperbaiki lingkungan. Dari Lantebung, kita belajar bahwa keberhasilan membutuhkan proses panjang dan kegigihan. Dengan tekad yang sama, harapan untuk lingkungan yang lebih baik bukanlah sekadar impian, melainkan tujuan yang nyata dan bisa dicapai.

Penulis: Nirwan Dessibali – Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia

Berita Terkait

Scroll to top