Dari Pulau ke Kampus: Kisah Konservasi Laut Berbasis Masyarakat di Langkai dan Lanjukang

MAKASSSAR – Hari itu, Selasa siang 21 Mei 2024 yang cerah di Makassar. Di lantai tiga Kampus ITBM Balik Diwa, tepatnya di Ruang Koral, puluhan pasang mata menanti. Para mahasiswa dan dosen berkumpul, bukan untuk mendengarkan teori semata, tetapi untuk menyimak kisah nyata dari lapangan—kisah tentang laut, tentang komunitas nelayan, dan tentang harapan yang lahir dari kolaborasi.

Di hadapan mereka, berdiri Nirwan Dessibali, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia. Dengan suara tenang tapi penuh semangat, Nirwan tidak hanya menyampaikan materi kuliah umum bertema “Perlindungan dan Pelestarian Wilayah Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat”—ia membawa seluruh ruangan menyelam ke dalam cerita yang begitu dekat dengan kehidupan pesisir Sulawesi.

Ia membuka dengan memperkenalkan YKL Indonesia, sebuah organisasi yang telah bertahun-tahun bekerja mendampingi masyarakat pesisir di kawasan Wallacea. Namun, hari itu ia ingin bercerita tentang satu inisiatif istimewa. Sebuah program yang bukan hanya tentang konservasi, tapi tentang martabat, keberdayaan, dan keberlanjutan.

Namanya PROTEKSI GAMA—Program Penguatan Ekonomi dan Konservasi Gurita Berbasis Masyarakat. “Kami mulai di Pulau Langkai dan Lanjukang, dua pulau kecil di Makassar yang menyimpan potensi besar dalam perikanan gurita,” ujar Nirwan.

Program ini bukan datang sebagai intervensi dari luar, tapi tumbuh dari rasa percaya pada kekuatan lokal. Dengan dukungan dari CEPF dan Burung Indonesia, sejak Mei 2021, PROTEKSI GAMA menjadi jawaban atas tantangan nelayan dalam memanfaatkan gurita secara berkelanjutan.

Salah satu inovasinya adalah sistem buka tutup area tangkap. Nelayan bersepakat: selama tiga bulan, mereka berhenti menangkap gurita di zona tertentu. “Bayangkan, keputusannya datang dari masyarakat sendiri. Dan hasilnya luar biasa. Saat area dibuka kembali, gurita-gurita yang ditangkap lebih besar, lebih banyak,” jelas Nirwan, disambut anggukan kagum peserta.

Namun, PROTEKSI GAMA tidak berhenti di laut. Program ini menyentuh daratan, menyentuh kehidupan perempuan. Kelompok ibu-ibu dilatih mengolah hasil laut—mereka membuat produk bernilai, menghidupkan dapur-dapur dengan semangat baru. Di sinilah konservasi menjadi nyata: ketika perempuan di pulau bisa merasa berdaya, ketika anak-anak mereka bisa sekolah lebih tenang.

Nirwan melanjutkan kisahnya dengan menyebut film dokumenter dan buku “Siasat dari Pulau” yang diterbitkan untuk mendokumentasikan perjalanan ini. “Bagi kami, cerita harus dibagikan. Agar model yang berhasil di pulau kecil bisa menjadi inspirasi bagi wilayah lain,” katanya.

Rektor ITBM Balik Diwa, Dr. Muh. Ikramullah, S.Sos., M.Si saat membuka acara kuliah umum yang dibawakan Direktur Eksekutif YKL Indonesia, Nirwan Dessibali

Acara itu bukan sekadar kuliah umum. Ia menjadi titik temu gagasan. Rektor ITBM Balik Diwa, Dr. Muh. Ikramullah, membuka acara dengan pesan kuat: bahwa kampus ini berdiri di atas kesadaran maritim, dan kuliah umum seperti ini adalah bagian dari misi besar ITBM.

“Kami sadar, dunia kini dihadapkan pada dua tantangan utama: pangan dan lingkungan. Dan untuk menghadapinya, kita tak bisa jalan sendiri,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor—antara akademisi, pemerintah, masyarakat, dan organisasi seperti YKL Indonesia.

Di akhir sesi, suasana di Ruang Koral terasa hangat. Bukan karena cuaca, tapi karena semangat yang tumbuh di antara peserta. Para mahasiswa tidak hanya mendapat ilmu, mereka menyerap nilai: bahwa menjaga laut bukan tugas satu pihak saja. Bahwa konservasi tidak harus melawan ekonomi. Dan bahwa perubahan bisa lahir dari pulau-pulau kecil, asal dilakukan bersama.

Direktur Eksekutif YKL Indonesia, Nirwan Dessibali diberikan cenderamata usai membawakan kuliah umum

Berita Terkait

Scroll to top