Membedah Janji Politik Pangan, Perikanan, dan Konservasi di Visi-Misi Capres 2024

Oleh: Nirwan Dessibali
Direktur Eksekutif YKL Indonesia

Dalam setiap momentum politik nasional, terutama menjelang pemilu, publik dihadapkan pada berbagai narasi besar yang berisi janji transformasi dan pembangunan. Tapi bagi kita yang hidup dan bekerja di garis depan pesisir, pertanyaan utamanya tetap: Apakah visi dan misi calon pemimpin bangsa sungguh mengakar pada realitas masyarakat pesisir dan pulau kecil? Apakah mereka sungguh memahami arti penting dari kedaulatan pangan, keberlanjutan perikanan, dan konservasi yang berpihak pada masyarakat lokal?

Saya mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan ini lewat analisis kritis atas dokumen resmi visi, misi, dan program dari tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung di Pemilu 2024. Penilaian ini bukan dalam rangka mendiskreditkan, tetapi untuk memberikan kaca pembesar atas bagaimana isu-isu maritim dan ekologis diletakkan dalam lanskap kebijakan nasional yang mereka tawarkan.

1. Kedaulatan Pangan: Banyak Diksi, Minim Pendekatan Terpadu

Ketiga pasangan capres-cawapres sama-sama menjadikan isu pangan sebagai prioritas, tetapi dengan istilah dan pendekatan yang berbeda:

  • Pasangan Nomor Urut 1 menekankan kemandirian pangan, disebutkan 8 kali, dengan fokus pada swasembada berbasis produksi nasional. Pangan disebut sebanyak 31 kali, menunjukkan prioritas tinggi dalam narasi mereka.
  • Pasangan Nomor Urut 2 menggunakan istilah swasembada pangan, juga 8 kali, dengan penguatan industri pangan, BUMN pangan, serta agenda reformasi agraria yang menyasar petani, peternak, dan nelayan.
  • Pasangan Nomor Urut 3 menyebut kedaulatan pangan hanya 2 kali dan pangan 14 kali. Meski lebih sedikit, mereka memadukannya dengan pendekatan ekonomi berbasis pengetahuan dan nilai tambah pangan lokal.

Namun demikian, dari ketiganya belum tampak satu pun yang secara khusus menyinggung sistem pangan komunitas pesisir—di mana sumber protein utama berasal dari laut dan sistem distribusi serta pengolahannya sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis dan sosial yang khas. Pangan di wilayah pesisir bukan sekadar soal beras atau kedelai, tapi tentang akses pada sumber protein laut, keamanan wilayah tangkap, dan pengelolaan bersama berbasis adat dan kearifan lokal.

2. Perikanan Berkelanjutan: Tersebut, Tapi Tak Terbangun

Dari sisi perikanan, berikut temuan kami berdasarkan penyebutan istilah:

  • Nomor Urut 1 menyebut perikanan berkelanjutan hanya sekali, sementara kata perikanan disebut 8 kali. Fokusnya lebih banyak pada produktivitas dan industrialisasi hasil laut, serta subsidi dan bantuan alat tangkap bagi nelayan.
  • Nomor Urut 2 menyebut perikanan lestari satu kali, dan perikanan sebanyak 17 kali. Ada semangat membangun armada laut, meningkatkan akses KUR, menyederhanakan perizinan, dan penguatan SDM di sektor maritim.
  • Nomor Urut 3 menyebut perikanan budidaya berkelanjutan satu kali, kelestarian sumber daya ikan satu kali, dan perikanan delapan kali. Mereka juga menjanjikan penangkapan ikan terukur berbasis kuota dan zonasi, serta penggunaan teknologi digital untuk mengontrol penangkapan.

Meski istilah “berkelanjutan” muncul di semua kandidat, tak satu pun yang mengelaborasi apa makna keberlanjutan itu dari sisi daya dukung ekosistem, pembatasan tangkap, atau mekanisme partisipasi nelayan kecil. Semua masih terjebak dalam logika produksi dan hilirisasi, belum menyentuh aspek keadilan spasial dan kedaulatan ruang hidup nelayan tradisional.

3. Konservasi Laut Berbasis Lokal: Nyaris Tak Terdengar

Isu konservasi laut—terutama yang melibatkan masyarakat secara langsung—menjadi bagian yang paling tidak mendapat perhatian serius dari ketiga pasangan calon.

  • Nomor Urut 1 menyebut kelestarian lingkungan kepulauan satu kali, tapi tidak ditemukan istilah konservasi laut, konservasi lokal, atau konservasi berbasis masyarakat.
  • Nomor Urut 2 bahkan tidak menyebut satu pun kata kunci seperti konservasi laut, pesisir, ataupun pulau.
  • Nomor Urut 3 menyebut pelestarian lingkungan laut satu kali. Ada program penguatan ekonomi biru dan konektivitas maritim, namun konservasi tetap tidak ditempatkan sebagai agenda strategis berbasis komunitas.

Padahal, masyarakat pesisir adalah aktor utama dalam keberhasilan konservasi yang sudah terbukti di banyak tempat. Sayangnya, semangat pengakuan, perlindungan, dan dukungan terhadap konservasi berbasis masyarakat—yang telah menjadi arus utama dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut di berbagai negara—belum terlihat dalam visi mereka.

Saya menegaskan dalam diskusi, “Isu konservasi laut berbasis masyarakat juga tidak masuk. Sementara masyarakat memiliki peran penting dalam mengelola sumber daya alam di pesisir dan pulau kecil.”

Refleksi: Masyarakat Pesisir Belum Jadi Subjek Pembangunan

Ketika pangan hanya dipandang dari kacamata produksi nasional, ketika perikanan hanya dibaca sebagai peluang ekonomi makro, dan ketika konservasi laut diabaikan sebagai urusan teknis belaka—maka sesungguhnya kita sedang melanjutkan pola pembangunan yang menjauh dari cita-cita keadilan ekologis.

Padahal Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Tanpa visi yang benar-benar berpihak pada masyarakat penjaga laut, janji kedaulatan maritim tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Tiga Arah Kebijakan yang Mendesak

Sebagai penutup, saya mengusulkan tiga arah transformasi kebijakan untuk mewujudkan pembangunan maritim yang adil dan lestari:

  1. Kedaulatan pangan harus mencakup sistem pangan lokal, termasuk perlindungan wilayah tangkap dan penguatan distribusi protein laut di wilayah pesisir.
  2. Perikanan berkelanjutan harus dimaknai sebagai pengelolaan sumber daya berbasis daya dukung dan keadilan, bukan sekadar peningkatan produksi.
  3. Konservasi laut berbasis masyarakat harus diarusutamakan, diakui secara hukum, dan didukung dengan skema pembiayaan publik.

Tulisan ini merupakan pemaparan Nirwan Dessibali, dalam Serial Diskusi “Meneropong Visi Misi Capres-Cawapres” yang diselenggarakan oleh JARING NUSA secara daring pada Kamis, 18 Januari 2024. Diskusi ini mengangkat tema “Mewujudkan Kedaulatan Pangan, Perikanan Berkelanjutan, dan Konservasi Berbasis Lokal di Pesisir dan Pulau Kecil.”

Berita Terkait

Scroll to top